Perspektif Politik Inklusif 2024: Sebuah Refleksi Perspektif Gender
Kata Kunci:
Kekeberagamanan Gender, Political Marketing, Voter Behavior, Komunikasi PolitikAbstrak
Tahun 2024 menjadi momentum Pemilihan Umum Indonesia dengan pengalaman warga sebagai sasaran
political marketing dengan konsep identitas politik, terutama agama dan isu keberagaman gender. Laporan Human
Rights Watch pada tahun politik 2016 menyatakan temuan anti LGBT dalam kampanye yang disampaikan oleh
sebagian besar politikus untuk mendapatkan dukungan publik. CNN menyebutkan bahwa dalam Pemilu 2019, isu
LGBT menjadi political marketing melalui sikap anti LGBT dalam rangka menjaga elektabilitas, yang kemudian
diralat menjadi tidak anti LGBT ketika elektabilitas mengalami penurunan. Penelitian berupaya mengetahui
partisipasi politik khususnya kelompok keberagaman gender dan seksual pada Pemilu 2024. Penelitian dilakukan
secara deskriptif kualitatif dengan menggunakan teknik wawancara pada komunitas dengan keberagaman gender
dan seksual di Indonesia. Pembahasan secara spesifik dikaji menggunakan model Keyakinan Kognitif dari teori
Voter Behavior Newman. Kajian pustaka dikaji melalui teori aspek bentuk-bentuk komunikasi politik oleh Mahi
Hikmat dan teori Efek Komunikasi Politik oleh Brian Mc. Nair, serta Penerapan Inklusif Keberagaman Gender
untuk mendapatkan penjelasan menyeluruh mengenai respons kelompok kebekeberagamanan gender terhadap
upaya pemerintah terkait dalam meningkatkan partisipasi politik di tahun 2024. Penelitian menunjukkan bahwa
terdapat aktivitas partisipasi politik pada kelompok keberagaman gender dan seksual di tahun 2024, baik sebagai
pemilih dalam Pemilu, maupun kebebasan berekspresi dalam menyuarakan hak kelompok minoritas. Tercatat
perilaku pemilih lebih banyak berlandaskan kognitif pada isu politik (political issues), citra sosial (social imagery),
dan nilai epistemik (epistemic value); sementara penolakan dukungan dilakukan berlandaskan kognitif pada
karakter capres atau cawapres (candidate personality) dan faktor penggambaran situasi (situational contingency).
Pihak pemerintah terkait, terutama KPU dan Banwaslu telah melakukan upaya peningkatan partisipasi kelompok
rentan dan minoritas, termasuk keberagaman gender dan seksual, dalam rangka optimalisasi Daftar Pemilih Tetap
(DPT). Dalam hal ini pemerintah sebagai komunikator politik telah menerapkan bentuk komunikasi politik
berupa retorika, agitasi politik, Public Relatitions (PR) politik, dan melibatkan media massa. Efek komunikasi
politik pada komunitas keberagaman gender dapat digambarkan melalui tanggapan positif terhadap aktivitas
kampanye politik dari aktor politik capres/cawapres, pemerintah terkait, dan presiden aktif.