Pemutusan Rantai Kekerasan pada Perempuan Pelaku: Pemulihan, Pemberdayaan, dan Integrasi Sosial

Penulis

  • Dian Pratiwi Pribadi Penulis

Abstrak

Masyarakat dan pengambil kebijakan cenderung memperlakukan perempuan pelaku kekerasan sama seperti
laki-laki pelaku kekerasan, yaitu memberikan stigma negatif sebagaimana pelaku kriminal pada umumnya
dengan konsekuensi hukum pidana secara normatif. Dalam persidangan, para hakim tidak menggali kerentanan
perempuan pelaku kekerasan secara aktif terkait tindak pidana yang dilakukannya. Mereka tidak mempertimbangkan
kelemahan fisik dan psikis perempuan pelaku sehingga perlu diperlakukan secara berbeda dengan pelaku tindak
pidana yang lain (Gandini, Inten, & Tardi, 2021).
Dunia akademik dan riset ilmiah yang dihasilkannya juga belum sepenuhnya memerhatikan situasi khusus
yang dialami perempuan pelaku kekerasan, khususnya menyangkut pemulihan dan reintegrasi sosial. Kajian yang
ada lebih banyak menggunakan perspektif hukum dengan menganalisa proses formal di pengadilan maupun
aturan perundang-undangan terkait. Yang menarik, berbeda dengan kecenderungan akademik tersebut, kajian
mengenai hukum dan terapi korban kekerasan pada perempuan, anak, dan remaja banyak dilakukan peneliti,
praktisi, dan pendamping.
Kimberly Taylor, Direktur The Alliance for Family Wellness, Amerika Serikat, menyebutkan bahwa
perempuan pelaku kekerasan biasanya memiliki latar belakang sebagai korban kekerasan dalam keluarga
pada masa kanak-kanak. Dengan mempertimbangkan latar belakang ini, perempuan pelaku kekerasan berhak
untuk mendapatkan perlindungan. Faktor lain yang bisa menjadi pertimbangan adalah pengalaman berada
dalam situasi tidak menyenangkan, seperti rasa malu dan berdosa yang memimbulkan tekanan mental,
serta rasa bersalah dan layak untuk dihukum. Perempuan pelaku kekerasan juga menghadapi tantangan
dari lingkungannya, yaitu takut menerima cemohan, khawatir atas keselamatan diri, rasa cemas melalui
berlikunya proses persidangan, hingga kelelahan dan kejenuhan untuk mengatakan hal yang sama berulang
kali (Saraswati, 2023).
Merujuk pendekatan feminis-strukturalis yang ditawarkan Simone de Beauvoir, sangat perlu memahami
latar belakang yang mendasari perasaan dan pengalaman perempuan pelaku yang berangkat dari subordinasi
perempuan akibat peran dan fungsi sosial-budayanya. Hierarki gender menempatkan perempuan lebih lemah dan
dilemahkan serta bertanggung jawab pada kegiatan domestik yang dianggap lebih ringan. Sementara, laki-laki
dikonstruksi lebih kuat dan bertanggung jawab di ranah publik yang dinilai lebih berat. Dengan ;atar belakang 

social budaya ini, perempuan pelaku menjadi sulit diterima di masyarakat karena mereka dinilai keluar dari
hierarki gender (Puspitasari & Muktiyo, 2017).
Data Sistem Database Publik Ditjenpas tertanggal 13 Agustus 2024 menyebutkan bahwa Warga Binaan
Perempuan (WBP) di Lembaga Pemasyarakatan (Lapas) Kelas IIA Kediri mencapai 12 orang, di Lapas
Kelas IIB Blitar sejumlah 8 orang, dan di Lapas Kelas IIB Tulungagung 8 orang. Sementara itu, mahasiswa
Program Studi Bimbingan dan Konseling (BKI) melaksanakan Praktik Pengalaman Lapangan (PPL) di Lapas
Tulungagung dengan melakukan konseling pada 5 (lima) Warga Binaan Perempuan (WBP) (Sholihah dkk.,
2024). Laporan PPL oleh mahasiswa tersebut menemukan tiga WBP narapidana/tahanan kasus kekerasan

berbasis gender dengan rentang usia 18-25 tahun, kesemuanya mendapatkan tuduhan melanggar Undang-
Undang Perlindungan Anak. Ketiga perempuan pelaku kekerasan yang menjadikan anak-anak mereka sebagai

korban merupakan fenomena yang menarik untuk dikaji dengan asumsi adanya motif trauma psikologis yang
mereka alami sebelumnya. Salah satu tujuan dalam melakukan kajian terhadap perempuan pelaku kekerasan
adalah menyediakan informasi yang bisa digunakan untuk memutus rantai kekerasan melalui pemulihan dan
reintegrasi sosial kepada mereka.
Fokus penelitian ini adalah: bagaimana memutus rantai kekerasan pada perempuan pelaku dilakukan melalui
pemulihan dan pemberdayaan dengan pendekatan teori Integrasi Sosial? Penelitian ini diharapkan dapat menjawab
kebutuhan akademisi, praktisi, aktivis, dan relawan dalam menyusun program pemulihan dan pemberdayaan
untuk perempuan pelaku kekerasan dengan landasan ilmiah. Dengan demikian, upaya pemutusan rantai kekerasan
yang melibatkan perempuan pelaku sekaligus korban dapat dicapai dengan lebih maksimal, karena mengacu pada
program yang dapat dilakukan oleh komunitas pemberi layanan pemberdayaan secara umum.
Artikel ini disusun secara deskriptif dengan menjelaskan dan menganalisa hasil dan temuan penelitian.
Sistematika penulisan didahului dengan latar belakang penelitian, dilanjutkan dengan studi literatur, metode,
temuan, pembahasan, kesimpulan dan rekomendasi, dan diakhiri dengan daftar referensi.

Referensi

Diterbitkan

2025-12-04