Merebut Ulang Makna Ta’dzimdi kalangan Santri sebagai Upaya Peningkatan Kesadaran Pencegahan Kekerasan Seksual di Lingkungan Pesantren
Kata Kunci:
Kekerasan Seksual, Pesantren, Tafsir Agama, Ta’dzimAbstrak
Kekerasan seksual yang terjadi di institusi agama seperti pesantren kerap diakibatkan oleh manipulasi terhadap
korban dengan menggunakan tafsir agama yang keliru dengan menyasar santri perempuan sebagai korban.
Misalnya konsep ta’dzim yang menekankan kepatuhan santri kepada otoritas di pesantren. Studi ini bertujuan untuk
menjelaskan (1) bagaimana konsep ta’dzim digunakan untuk memanipulasi korban. Selanjutnya juga mengeksplorasi
(2) bagaimana seharusnya konsep tersebut dipahami oleh kedua pihak, baik santri maupun otoritas pesantren
agar tidak bertentangan dan atau merendahkan martabat perempuan. Kemudian penulis mengusulkan desain
program yang dapat diimplementasikan sebagai langkah pencegahan terhadap kekerasan seksual di pesantren
yang sejalan dengan Peraturan Menteri Agama (PMA) No.73/2022. Peraturan tersebut sebagai landasan yang
bersifat struktural-yuridis yang dilengkapi dengan nilai-nilai keagamaan yang sesuai dengan Fatwa KUPI juga
ulama lainnya yang memperjuangkan dan mengadvokasi hak-hak perempuan dan keadilan gender. Penelitian ini
menggunakan pendekatan kualitatif dengan pengumpulan data melalui wawancara secara daring dengan beberapa
kiai sebagai otoritas pesantren dan juga santri untuk mengetahui perspektif bagaimana seharusnya konsep ta’dzim
itu diajarkan dan dipahami oleh mereka. Adapun rekomendasi program yang diusulkan dalam penelitian ini
melibatkan analisis terhadap Catahu Komnas Perempuan dan berita daring terkait kekerasan seksual di pesantren.
Temuan penelitian menunjukkan kasus kekerasan seksual di pesantren memperlihatkan adanya penyalahgunaan
konsep ta’dzim dari otoritas pesantren sebagai upaya memanipulasi korban kekerasan seksual sehingga santri tidak
mampu atau tidak berani untuk menolak tindakan kekerasan seksual. Selain itu, berdasarkan analisis data hasil
wawancara dengan kiai, seharusnya konsep ta’dzim ini diajarkan kepada santri dengan menyampaikan batasanbatasan dalam konsep ta’dzim yang tidak bertentangan dengan hak asasi manusia dan tidak mengarah kepada
maksiat dan sesuatu yang diharamkan. Sedangkan menurut perspektif santri, seharusnya ada pemaknaan ulang
terhadap konsep ta’dzim sebagai sikap mengagungkan, memuliakan, menghormati secara mendalam seorang
guru atau kiai di pesantren. Akan tetapi pemikiran kritis diperlukan dalam penerapannya. Adapun program
inovasi untuk pencegahan kekerasan seksual di pesantren yang diusulkan mencakup (1) Dengan bermodalkan
PMA No.73/2022 dan Juknis Pengasuhan Ramah Anak di Pesantren penulis berargumen perlunya implementasi
pencegahan kekerasan seksual untuk mendapat perhatian lebih dari para stakeholders (2) Perlu dilakukan pendidikan dua arah baik dari santri maupun pimpinan pesantren terhadap pemahaman hak-hak anak (3) Adanya modul tentang cara pengajaran ta’dzim yang baik di pesantren (4) Didorong oleh kementerian agama bersama kalangan intelektual islam, diperlukan adanya diskusi teologis terkait makna konsep ta’dzim apakah termasuk adab atau akhlak (5) Menciptakan pesantren percontohan yang menciptakan konsep ta’dzim yang ramah anak.